BUNYI

BUNYI

Ku ingin lukiskan bunyi

Suara ini di kupingmu insani

Ku ingin gambar dengan aksara duniawi

Tapi belum kusua pasti

Huruf mana yang berarti

Bunyi ini

Bunyi nurani

Dari bibir alami

Alur ilmu mereka sebut di sini

Alur membelah dan merayapi

menembus sendi-sendi Universiti

Bunyi ini tidak berartikulasi

Tapi pasti

Ia bernyanyi lagu hati

Aku dengar tapi

akuBelum mengerti

Karena aku tak punya ilmu Illahi

Bunyi ini indah sekali

Bersautan tiada henti

Atau telingaku yang tak jeli

Hingga bunyi hilang arti

Hingga nyanyi jadi amali

Kutahu, semua ini diatur Robbi

Ampuni

Aku belum bisa berbagi

Bunyi ini

Aku hanya mematri dan menikmati

Bunyi ini milik kami

Yang masih punya hati

Merajut nurani walau terkadang tak mengerti

Alur ilmu ini masih bernyanyi

Menjeput senja di tepi hari

Sampai kapan pun tak pasti

Malaysia 13 Desember 2008

Malaysia Ketika Ku Dewasa

Malaysia Ketika Ku Dewasa

Dua ribu dua puluh kita kan bersama

Menampal koyak-koyak era

Saat itu aku telah dewasa tuk berlaga tuk menjadi ksatria

Kau taman sebiji benih

“Membentuk sebuah negara bangsa yang bersatu padu”

Aku pun kan memimpin negriku tuk membatu

Menyatu mengadu bahu

Menyusun angkasa meraik bintang

Menuai gemilang

Kau yakinkan

”Melahirkan sebuah masyarakat Malaysia yang bebas, teguh dan mempunyai keyakinan diri”

Aku telah menanam sendi itu di hulu Batang Hari

Di tepi Kelumpang

Ku telah titipkan separoh nyawa menimba yakin

Aku telah bebas menentukan negeriku.

Aku pemimpinnya

Kau ajarkan

”Membangunkan masyarakat demokratis yang matang”

Ayahku meletakkan demokrasi itu di atas tikar pandan

Tempat kami menyuap nasi

Di kebon karet, di ruang tamu, di atas bendul pondok.

Demokrasi itu adalah kata tanaman sanubari

Aku mematri walau ayah tak ada lagi

Aku pemimpin demokrasi itu

Kau sesumbar

”Membentuk sebuah masyarakat yang kukuh moral

dan etikanya dan utuh nilai keagamaannya”

Aku telah dewasa tuk kuasa

Demi Ilahi memaut janji tuk sama mengaji

Nilai ini kita bagi karena ia milik syurgawi

Moral negeri angka pasti walau mungkin kini sedang lali

Kau yakin memanen

“Mewujudkan masyarakat yang matang dan bersifat toleran”

Ku telah tanam mawar dan duku

Ku telah pesankan Hulil sipandai besi

Untuk tidak membuat pisau selain penyadap karet

Bukan belati tuk cabik nurani

Aku komando perang suci

Menharamkan setetes darah dihisap bumi

Mawarku pasti harum mewangi untuk berbagi setiap pagi

Kau telah bermipi

“Membentuk masyarakat yang bersifat sains serta progresif”

Aku baru saja mengirimi dukun-dukun komputer

Membuat website pemasarannya

Aku kirim ahli nujum meramu jiwa dengan ilmu bukan mantra

Mantra kuminta rubah menjadi enter

Kemeyan kan kurubah menjadi coklat, tuk dipasarkan

Kau berpuisi

”Mewujudkan masyarakat berbudi dan berbudaya penyayang”

Budi itu telah membesarkan hurup alif ku

Sayang itu telah melantun bersama deru buaiku

Bersama senandung manis bundaku

Bersama bahu ayah yang menggendongku ke humu.

Aku menyayangimu

Kau berjanji

”Menjamin pembentukan sebuah masyarakat yang adil ekonominya”

Dapurku adalah dapur rakyatku

Aku telah bangunkan kebun-kebun tuk mereka tanami

Rakyatku tak lagi mendatangimu tuk berkongsi tenaga

Kami punya sumber ekonomi milik kami sendiri.

Kau tetapkan

“Mewujudkan masyarakat yang makmur”

Aku janjikan tuk membuktikan

Rakyatku makmur

Rakyatku subur

Rakyatku bersyukur

Malaysia, itu janjimu 2020?

Itu juga asaku saat waktu itu datang

Aku pemimpin rakyatku

Malaysia 13 Desember 2008

(Note: petikan-petikan di atas adalah Cabaran Wawasan 2020 Malaysia)

KAMPUNG KAMI eh… KITA, PUCUK

KAMPUNG KAMI eh… KITA, PUCUK

Pe – U – Ce – U – Ka, dibaca PUCUK

Lima aksara eja murka untuk kampung kami

Bukan kata kami

Kami yang tinggal dikampung busuk

Bukan kata kami

Kami hidup dilembah gelap tiada lentera

Bukan kata kami

Kami tinggal di pucuk kenikmatan

Baru kata kami, eh…kita

Nikmat kami bukan nikmat kalian, eh…kita

Kalian nikmat bukan kami menikmat

Kami menggeliat di dada dan di pusat

Memejam mata melihat nikmat yang kau pejam

Nikmat kita bukan nikmat mereka, kami tidak

Nikmat siapa nikmat neraka atau nikmat syurga

Nikmat entah laknat atau lalat penikmat, itu kita.

Pucuk pucuk pucuk pucuk puuuuucuk

Busuk menusuk merasuk

Lekuk meliuk

Kadang mendengus mencari nyawa supaya tak mampus

Meredam lara berbungkus

Kami tak ingin mampus karena tak ada isi usus

Kau suci karena kami kau anggap hina, eh…kita.

Kami kau hina karena kau tahu kau sendiri  hina

Kami tak berdaya menahan hina

Hina kau yang lebih banyak dari kami, kau pasti dungu.

Hina kau para priayi dan pemimpin negri

Mengotori kami untuk kau hina, kau sendiri hina

Menelan muntahan birahi nafsu korupsi

Menelan air mani, money, money sembunyi-sembunyi

Mengulum lidah-lidah pengadilan

Mencium pantat-pantat pimpinan agar disayang dan melayang

Mencumbu isteri-isteri orang yang kau kangkangi

Menggoyang, memutar, menarik-narik, menekan-nekan harta negara

Kau berada dikampung P U C U K, kampung kita.

Pe – U – Ce – U – Ka dibaca….(titik titik)

Malaysia, 13 Desember 2008

SUNGAI LANGAT

Sungai Langat

Kata-kata ini aku rangkai di tepi bibirmu, sayang

Di sisi jembatan beton yang membentang dari mulutmu yang menganga

Berteman gelap malam dan angin syurga

Malam merangkak

Meronta bersama putaran dunia

Henfon jelekku mengatakan jam 21 : 10 waktu Malaysia

Di atas jembatan itu mobil dan motor lalu lalang entah kemana

Di bawah sini kau masih mengalir dengan caramu sendiri

Walau tak tahu harus mengalir ke mana

Cahaya lampu jalan membuat malamku bertambah syahdu

malammu terus menderu

Mungkin orang mengiraku gila dan entah apa

Di atas rumpun rerumput basah

Baru saja disiram hujan tadi siang

Aku bentang laptopku

Mukaku ditampar cahaya listrik mengeluarkan bayang kata

Ku ukir tinta dilayar fana tuk sejarah

Berulang kali aku tersenyum

Menyaksikan air terus belalu, mengalir, ke hilir negri kayangan

Memang tak bening

Mungkin di hulu sana ada manusia angkuh

membuat kau keruh

Atau memang dunia ini sudah keruh

Kisruh runtuh gemuruh membusuk

Tapi biarlah walau keruh

Hanya kau masih tetap sungai sisa masa lalu

kau masih mengalir ke hilir

Belum ke hulu.

Di bawah jembatan beton ini ada manusia pencari ikan

Mereka memancing

Bersuluhkan lampu minyak

Berteman nyamuk dan hawa malam koyak

Masih adakah ikan yang dikail?

Atau hanya melepas pertanyaan sejarah dan nafsu

Aku sendiri di tepi bibir mungilmu

mencari kenikmatan sanubari merindu alam nan alami

Mataku tak puas menyaksikan kilau cahaya memantul di airmu

Aku suka walau bukan cahaya Ilahi

Kerena aku dilahirkan dari kilau cahaya itu di kampung bumi pertiwi

Aku besar di kilau lampu minyak yang memantul ke sungai Batang Hari

Biasa malam seperti ini ada deru ombak dari perahu datukku

Datuk ku dulu sama seperti merka yang kini di bawah jembatan itu

Mencari ikan untuk keluarga

Tapi kini angin bercerita ikan-ikan itu tak lagi ada

ikan itu telah banyak dituba, disengat ribuan watt aliran listrik

Tak ada lagi pemancing

Tak ada lagi datuk datukku

Aku pun tak lagi di sana

Aku tak ada lagi

Kini ada sinar merah

Sinar putih

Sinar kuning

Tapi tak ada sinar Ilahi

Dunia semakin gersang dan ilusi

Sungai masih mengalir entah sampai kapan

Aku tentu tak kan menunggu

Sepotong dua potong sampah mengalir

Memenuhi dermaga menyumbat telaga

Sampah yang telah dibuat mausia busuk

Egois untuk mereka sendri

Sampah yang nyampah menyeruah di aliran sungai

Siapa yang peduli

Aku ingin peduli tapi aku masih di sini

Menekan tombol-tombol komputer yang jua akan jadi sampah

Aku masih di sini dengan rasa dan lara

Aku lara dengan sukma dan asa

Tapi kini lara itu aku alirkan bersama keruhnya sungai ini

Ooo…ternyata keruh sungai ini karena lara

Karena lara para penghuni dunia

Lara para pendosa yang tak mau berbagi suka cita

Egois membuang lara ke dalam perutmu

Dirimu kini terkena lara, duka terluka.

Langat….

Kau masih mau mengalir?

Aku sebentar lagi akan menata lara, sama

Lara dari sekian banyak langkah dan darma

Aku sebentar lagi kan pergi meniti hari tak bertepi

Sama akan harimu yang tak pasti

Oooo…mengalirlah.

Aku masih tersenyum menata air mu

Senyumku mengalir bersama riak-riak kecil mu

canda-canda manismu malam ini

Sungai Langat,  aku pernah di sini disisimu

Bersamamu menelusuri malam ini, malam indah di bibir mungilmu

Kan ku kenang sepanjang hayat ku

Kita pernah bersama berbagi cahaya

juga duka


Malaysia, 11 Desember 2008