Fatamorgana Anggaran Pendidikan Provinsi Jambi

Perhelatan penetapan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jambi untuk tahun 2009 telah berlalu yang dilaksanakan pada tanggal 3 Desember 2008. Dewan Perwkilan Rakyat Deaerah (DPRD) Provinsi Jambi telah mengetok palu dengan menetapkan besaran duit belanja Provinsi Jambi sebesar Rp. 1.721 triliun. Angka ini mengalami kenaikan sampai dengan 20,4 % dibandingkan dengan tahun 2008 yang hanya sebesar Rp. 1.429 triliun. Jumlah ini menunjukkan angka yang sangat signifikan sebagai salah satu syarat untuk membangun provinsi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah tercinta ini ke arah yang lebih baik. Tentunya ini merupakan harapan kita semua sebagai masyarakat awam yang merindukan perbaikan demi perbaikan.

Duit sebesar satu triliun koma tujuh ini kemudian dibagi-bagi sesuai ”permintaan” dinas yang ada di dalam struktur pemerintahan Provinsi Jambi. Maka ketok palu Ketua DPRD Provinsi Jambi, H. Zoerman Manaf tersebut telah pula menetapkan bahwa Dinas Pemukiman dan Sarana Wilayah (Kimpraswil) mendapat ”bagian” terbesar yaitu sebesar Rp. 368.046 miliar, dan diikuti oleh Dinas Pendidikan yang memperoleh ”jatah” sebesar Rp. 305. 587 miliar. Dilihat dari jumlahnya inilah sebuah nominal yang fantastis dan sangat mengembirakan kita semua. Namun, bagaimana dengan realisasi penggunaanya?

Berangkat dari pertanyaan singkat tersebut, melalui tulisan ini, penulis mencoba menerawang penggunaan anggaran Dinas Pendidikan. Bagaimana sesungguhnya realisasi alokasi dana sebesar Rp. 305. 587 miliar tesebut mampu menjadi ”daya tarik” untuk meningkatkan penyelenggaraan pendidikan di Provinsi Jambi. Sebelumnya, penulis ingin menyampaikan apresiasi kepada Provinsi Jambi yang telah dengan segala daya upaya mencoba meningkatkan anggaran pendidikan. Namun dari pada itu, tidak dapat dipungkiri bahwa jumlah (quantitas) anggaran belumlah bisa kita jadikan barometer keberhasilan pendidikan di Provinsi Jambi, akurasi pemanfaatannyalah yang menjadi tantangan besar bagi semua steakholder yang ada. Hal ini sudah dicoba oleh DPRD pada penetapan APBD tahun ini untuk memberikan warning kepada pemerintah (eksekutif) sebagai pemakai anggaran agar memperketat pengawasan penggunaan uang negara tersebut supaya tidak terjadinya ”kebocoran” di sana sini.

Agaknya pepatah kuno orang Jambi yang mengatakan ”ambik contoh pada yang sudah, ambik tuah pada yang menang” tepat untuk dipasangkan pada wacana ini. Melihat kembali kebelakang pengelolaan anggaran pendidikan selalu menuai masalah dangan segala persoalannya. Terkadang masyarakat hanya bisa mengurut dada kecewa ketika melihat persoalan-persoalan pendidikan seperti demo guru karena gaji yang tidak dibayar, pengadaan buku dan peralatan sekolah yang penuh manipulasi dan korupsi, pembangunan gedung sekolah yang asal jadi karena duitnya sudah disunat sana sunat sini, dan lain sebagainya. Paling tidak inilah contoh-contoh buruk dari penyelenggaraan pendidikan kita selama ini. Akankah contoh-contoh buruk ini kembali terulang dalam pemanfaatan anggaran pendidikan kita tahun 2009 ini? Artinya, kalau jelek jangan dicontoh, kalau kalah jangan diambil tuhanya.

Mari kita lihat gambaran berikut. Anggaran sebesar Rp. 305.587 miliar ini merupakan ’Itikat baik Provinsi Jambi untuk mencapai anggaran pendidikan 20 % dari APBD sebagaimana diamanatkan oleh negara, walaupun realnya baru mencapai 19,5%. Sekali lagi kita mengapresiasi pencapaian ini. Uang ini kemudian sudah pula diperuntukkan dalam beberapa sekala penggunaan melalui program-program yang telah disusun oleh pemerintah. Program pelayanan administrasi perkantoran  Rp 7.319.830.000, Program pendidikan anak usia dini Rp 10.230.475.000, Program wajib belajar 9 tahun Rp 114. 903.768, Program pendidikan luar biasa Rp 5.132.800.000, Program pendidikan luar sekolah Rp 13. 224. 000.000, Program manajemen pelayanan pendidikan Rp 25.600.000.000, dan Program sekolah menengah  Rp 88. 469.110.000. Jumlah     Rp 305.587.853.000. (jika terdapat kesalahan penulisan angka-angka ini mohon dikoreksi). Lantas apa yang dapat kita petik dari angka-angka miliaran rupiah ini?

Harapan masyarakat terhadap angka-angka ini tentunya adalah bahwa besaran angka ini akan berbanding lurus dengan peningkatan penyelenggaraan dan mutu pendidikan di Provinsi Jambi. Dengan anggaran ini maka akan ada sekolah yang tidak reot tapi nyaman dengan segala perlengkapan lab dan sarana belajar lainnya, spp yang ringan (kalau perlu gratis sampai dengan level pendidikan menengah atas), guru yang tidak lagi perlu mencari pendapatan tambahan sebagai tukang ojek atau penyadap karet, beasiswa diberikan kepada mahasiswa-mahasiswa S2 dan S3, dan seterusnya. Inilah paling tidak harapan-harapan yang tersirat dari angka-angka tersebut. Namun agaknya tidak berlebihan jika penulis sedikit pesimis angka-angka ini akan memenuhi harapan masyarakat tersebut.

Sebagai contoh kecil, secara kasat mata hal ini dapat dilihat dan dianalisa. Hanya peruntukan pada program sekolah menengah sejumlah Rp. 88. 469.110.000 yang lebih memungkinkan untuk pembangunan sarana sekolah (gedung dan lain sebagainya). Sementara itu, program-proglam lain sudah dapat dipastikan merupakan proyek pengadaan peralatan sekolah, bahan ajar, pelatihan guru, studi banding, dan anggaran untuk pengadaan kendaraan dan perjalanan dinas. Program-program seperti ini tentunya juga merupakan program untuk meningkatkan pendidikan itu sendiri, namun pesimisme yang muncul kemudaian adalah bahwa program-program ini sering kali “dimanfaatkan” oleh oknum-oknum tertentu untuk melakukan penyelewengan terhadap duit negara. Hasilnya adalah uang yang berjumlah besar itu menguap entah kemana. Entah masuk ke kantong siapa dengan segala cara. Jika ini terjadi tentu sangat kita sayangkan.

Inilah kemudian yang penulis sebut dengan fatamorgana. Fatamorgana itu kita dapati di jalan raya ketika panas terik kita melihat dari jauh ada genangan air, namun ketika kita sampai di tempat yang dituju semua nihil alias tidak ada apa apa. Ini yang sering terjadi pada anggaran pendidikan kita salama ini. Dari jauh kita melihat betapa besar jumlah yang diperuntukkan, namun bila kita melihat dari dekat ternyata duit yang besar itu telah menghilang entah ke mana. Mungkin sudah dibagi-bagi atau dihambur-hamburkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Dan pendidikan kita tetap jalan di tempat. Haruskah hal-hal ini terjadi dan terjadi lagi?

Di sinilah letak peran dan fungsi kita masing-masing. DPRD, LSM, media massa, dan maysarakat juga steakholder lainnya harus memberikan control yang baik, walaupun sebenarnya control masyarakat diyakini sangat lemah (powerless) berhadapan dengan penguasa. Pemerintah (eksekutif) memperbaiki diri (kinerja) dengan membelanjakan duit negara tersebut sesuai dengan apa yang semestinya (sesuai uu atau perda). Terbersit asa yang membara agar pendidikan kita semakin baik dan mampu bersaing dengan provinsi lain bahkan luar negeri. Kita harus juga ingat bahwa pendidikan kita banyak tertinggal dengan pendidikan provinsi lain, apa lagi negara lain. Anggaran yang besar ini jangan sampai bak fatamorgana yang mengecewakan kita semua.

Note: Tulisan ini dimuat di Koran Media Jambi pada tanggal 13 Feb 2009

Aku Benci Kuala Lumpur

Langkah wanita separo baya itu terhenti seketika di depan pintu kamar yang ia tuju. Tangannya dengan posisi siap mengetuk pintu terhenti begitu saja ketika pelan tapi pasti terdengar isak tangis dari dalam. Tidak cukup yakin dengan apa yang ia dengar, ia tempelkan kupingnya ke daun pintu untuk meyakinkan bahwa yang sayup-sayup ia dengar adalah tangis bukan nyanyian atau suara tivi. Ternyata benar ia yakin itu adalah tangis. Tangis si sulung, Nancy Shaliza. Semakin lama semakin terdengar dan semakin menyesakkan dada. Ada apa gerangan?

”Izaa…” dipanggilnya halus dan lembut bersama tiga kali ketokan di daun pintu. Lama tidak terdengar suara dari dalam. Suara tangis tiba-tiba hilang, namun tidak ada sahutan hingga diulanginya lagi beberapa kali dan beberapa ketokan.

”ya maa…, tunggu sebentar” suara gadis itu dari dalam sambil berlari menuju kamar mandi.

”kok lama jawab Mama tadi. Yuk makan, papamu udah nungguin dari tadi tuh di meja makan. Kamu gak lapar?” wanita itu penuh curiga melangkah ke dalam. Mencari-cari suar tangis yang baru saja mengilang tiba-tiba. Diam-diam ia perhatikan mata dan wajah anak tersayang. Tidak ditemukan.

”belum ma. Tadi makan roti canai di pasar malam” sahut gadis manis itu dalam Melayu yang kental

”gi mana sudah di isi semua formulirnya?” tanya wanita itu juga dalam Melayu yang santun. Namun yang ditanya tidak menjawab tapi malah mengalihkan pandangan ke sebuah map biru yang ada di meja riasnya. Sang mama pun mengerti apa maksud anak gadisnya itu. Ia menuju dokumen itu sambil duduk dikursi hias yang ada dihadapannya. Sekilas ia melihat di kaca pantulan wajah yang ternyata tidak lagi muda. Dulu cermin itu masih sangat bahagia menerima gambar wajahnya yang ayu dan cantik. Kini wajah itu mulai dimakan usia, menipis. Tapi cermin itu agaknya beruntung karena tetap tidak kehilangan orang-orang cantik di hadapannya. Silih berganti. Dulu seorang Susan Mohd. Khalil, si dosen muda nan rupawan dan sekarang Nancy Shaliza yang tak mau kalah cantiknya dari sang mama. Wanita itu kemudian membuka map yang berisikan beberapa formulir di dalamnya. Memperhatikan satu persatu kolom-kolom yang terisi. Kemudaian keningnya berkerut, semakin menunjukkan kerut sesungguhnya.

”Iza…ini yang kesekian kalinya kamu lupa megisi tempat lahir kamu. Kenapa harus selalu mama ingatin? Yang lain sudah terisi semua” tanya sang mama tanpa melihat pada puterinya yang duduk di tepi tempat tidur sambil menimang-nimang henfon.

”bukan lupa, tapi…..”

”tapi kenapa, sayang?” sambung wanita itu agak curiga. Gadis itu seakan tidak berani melihat Mamanya. Kepalanya semakin menunduk. Ia sekuat tenaga menahan air mata. Tapi sang mama ternyata mengetahuinya juga.

”Ada apa Iza? Mengapa kamu tidak suka menulis tempat lahirmu sendiri dalam setiap mengisi formulis apa pun dan…?” kalimat itu menggantung.

”cukup ma…, asal mama tahu ini kesalahan sejarah. Dan Iza benci menuliskannya” sambung gadis itu yang semakin tidak terkonrol. Sekarang tidak lagi air mata tapi mulai isak.

Wanita di hadapannya pun mulai kebingungan. Mengapa masalah menuliskan tempat lahirnya saja membuat anak sulung itu menangis sedemi kian rupa. Apa yang salah dengan tempat lahirnya. Ia berdiri dan mendekat hendak memeluk sang buah hati. Namun belum sempat ia lakukan, Iza telah terlebih dahulu beranjak menuju jendela yang masih terbuka. Magrib sudah berlalu dibawa malam.

Iza berdiri menghadap jendela menembus hitam malam yang sedikit diterangi rembulan. Matanya nanar menatap entah apa yang ia tatap. Air matanya mulai ia hapus dari pipi halusnya. Wajahnya nan jelita seakan tak terima ada air mata di sana. Lambat ia lanjut bicara.

”Iza benci menulis nama itu. Iza benci…! itu kesalahan mama. Kesalahan sejarah, ma” ucapnya tanpa melihat sang mama yang sekarang duduk dipinggir tempat tidur empuk itu.

”apa yang salah dengan menuliskan ”Kuala Lumpur”. Mengapa kau membenci Kuala Lumpur? Bukankan ini negerimu sendiri?” tanya sang mama tak mengerti

”mengapa Kuala Lumpur? Tidak London?” tanya Iza berbalik

“Apa?”

“Ya…Iza tidak benci dengan Kuala Lumpur. Tapi Iza sedih jika harus menulisnya di setiap formulir. Karena Iza tahu seharusnya Iza punya kesempatan untuk menulis “London” di formulir itu.” Jawabnya masih melihat jauh keluar sana seolah-olah ia ingin terbang menuju kota impiannya itu, London.

“apa maksudmu?” mamanya semakin tak mengerti

”andai saja Mama dan papa mau membuatkan sejarah manis hidup Iza yang membanggakan dan sedikit mau berkorban, Mama tidak akan pulang waktu umur kandungan Mama lima bulan. Mama akan melahirkan aku di kota London. Bukan kah Mama yang sering bercerita betapa indahnya kota itu. Betapa besar dan menawan. Betapa orang-orang sana gagah dan cantik. Kehidupan mewah dan megah. Tapi mengapa Mama tidak mau melahirkan aku di sana. Mengapa harus Kuala Lumpur. Mengapa ma..?”

Wanita yang mulai menua itu mulai mengetahui letak persoalan sang puteri. Senyum sedikit getir. Dia pun mulai memutar balik sejarah hidupnya. Bak me-rewind vidio kaset, semua perjalanan hidup itu tampil kembali. Lima tahun hidup di negara Pangeran Charles itu untuk menuntut ilmu ditemai suami tercinta. Namun pada saat lima bulan mengandung anak pertama ia memutuskan untuk kembali ke tanah air tercinta Malaysia.

”Iza, sayang…” sang ibu menuju anak gadisnya yang masih saja mematung di depan jendela. Sambil mengusap rambut panjang sang anak.

”apa bedanya? Di Kuala Lumpur atau di London kau terlahir, tetap aja dirimu kan? Apa jika kau lahir di London membuat badanmu lebih besar dari sekarang? Sama saja, nak.”

”Tidak ma. Pasti berbeda. Kalo Iza lahir di London mungkin orang-orang tidak akn memanggilku Iza, tapi Nancy…”

”Apa bedanya? Apalah arti sebuah nama? Apa pun namamu kau tidak bisa merubah dirimu. Aku masih tetap Mama mu. Prof. Dr. Nazlim Jalaluddin Abd. Halim adalah papamu. Di manapun kau dilahirkan, siapa pun namamu, apapun kau dipanggil”. Jelas wanita itu sambil menarik nafas panjang.

”kau harus bangga dengan negerimu sendiri, nak. Kau harus bangga dengan Kuala Lumpur-mu. Untuk apa kau harus bangga dengan London, tempat tinggal orang-orang yang telah menjajah datuk-datuk mu.” lanjtnya.

”aku tak peduli, ma. Aku hanya ingin orang lain salut dan menghormatiku ketika membaca tempat lahirku, ”London”. Mereka akan menganggap aku hebat karena aku dilahirkan di luar negeri. Orang-orang juga akan bertanya tentang Mama dan papa. Mereka akan tau kalau Mama dan papa itu orang hebat punya anak yang dilahirkan di luar negeri, apa lagi kota London. Iza inginkan itu ma” sambil memeluk Mamanya.

”Iza…, sudah puluhan tahun Mama belajar dan mengajar tantang penjajah dan penjajah. Tidak ada yang dapat kita banggakan dari negeri penjajah itu, nak. Penjajah tetaplah penjajah seberapa baiknya mereka sekarang terhadap kita yang pernah dijajahnya. Hati penjajah sampai kapan pun tetap busuk. Tidak ada sama sekali yang kita banggakan dari mereka…” jawabnya lembut tapi penuh sinis yang membara.

”tapi Mama sendiri belajar ke sana dan bangga ngoceh dalam Bahasa Inggris. Apakah itu tidak bagian dari kebanggan Mama?” anak gadis itu nampaknya mulai membuka mata. Yah, dia tahun ini akan masuk universitas walau baru hendak mengisi formulir pendaftaran.

Mendapat jawaban itu membuat orang tua itu seakan tersentak sadar, anaknya sekarang tidak lagi anak kecil. Ia sudah pandai membuka mata untuk melihat dunia selain negerinya. Ia mulai dipengaruhi segala macam media yang menyuguhkan keunggulan negara Barat dan Eropa. Negara yang dulu tempat ia menempa ilmu. Walau dengan itu pula membuat ia sangat membenci negera-negara penjajah itu. Dengan ilmu yang ia dapat, ia jadi tahu betapa kejam para penjajah. Dengan ilmu itu ia tahu para penjajah telah banyak merampas negerinya, merampas sejarah, meramapas kebenaran. Para pahlawannya disebut kriminal. Para pejuang kemerdekaan mereka sebut penjahat. Hanya penjajah yang mampu membolak balikkan fakta. Menjungkir balikkan kenyataan.

”iya, Mama belajar di sana. Justru karena Mama belajar di sana makanya Mama tahu. Mama tahu mereka itu semua jahat dan penghianat. Anak ku, banggalah dengan negeri ini. Jujur Mama katakan, waktu seumurmu Mama pernah bangga dengan negara-negara itu. Tapi tidak sekarang. Mama tidak pernah bangga dengan New York London, Paris, Amsterdam, dan sebagainya. Mama bangga memiliki Kuala Lumpur, Jakarta, Bandar Sribegawan, Bangkok, dan negara-negara asean lainnya. Mama tidak ingin kesalahan Mama terulang lagi pada anak Mama. Itu janji Mama”

”kesalahan apa, ma?”

”Bangga kepada negeri penjajah nenek moyang kita adalah sebuah kesalahan. Kesalahan besar”

”tapi Iza gak peduli. Bukankah mereka memang lebih hebat dari kita. Dari negara kita, negara-negara asia? Coba Mama tonton tivi, lihat di internet, baca di koran. Semua bicara kehebatan mereka.”

”Siapa yang bilang mereka lebih hebat? Bohong. Semua itu bohong, sayang. Jika memang mereka lebih hebat dan memiliki segalanya, mengapa mereka datang ke bumi nusantara ini untuk meminta rempah-rempah. Mengapa mereka membawa harta kekayaan nenek moyang kita. Mengapa mereka merampas minyak di Timur Tengah. Itu bukti mereka tidak punya apa-apa. Kita yang memiliki apa-apa. Kesalahan bangsa kita, Bangsa Terjajah Cuma satu yaitu terlalu jujur dan baik hati. Sementara mereka terlalu jahat dan penghianat.”

”Tapi itu kan dulu, ma? Zaman penjajahan. Sekarang kita kan sudah merdeka” sela gadis itu

”Dulu dan sekarang penjajahan itu tetap ada, sayang. Keinginanmu menuliskan ”London” di dalam formulir itu juga bentuk penjajahan. Penjajahan pemikiran. Pemikiranmu, seperti dulu juga Mama waktu muda, yang dijajah mereka. Yang muda memang lebih mudah dijajah. Meraka buat negera mereka eksotik di dalam setiap kepala kita. Padahal sebenarnya omong kosong”

”tapi…”

”Oke,..” potong wanita itu. ”Mama akan tunjukkan semua kenenaran itu. Mumpung masih libur sambil menunggu panggilan dari universitas, Mama akan ajak kamu keliling eropa. Kamu boleh saksikan sendri dengan matamu.”

”Apa..? keliling Eropa? Gak salah ni ma?” Gadis itu seakan meloncat-loncat kegirangan mendengar tawaran Mamanya.

”Upss..tapi dengan satu syarat.”

”apa pun syaratnya, akan Iza penuhi ma. Bantu Mama masak satu bulan juga mau” sambungnya ceria.

”Oke, syaratnya cuma satu, kita harus mengunjungi setiap musium. Mama akan tunjukkan isi musium itu adalah harta benda kekayaan nenek moyangmu. Setuju?”

”Siap boss…” jawabnya sambil mencium pipi mamanya kuat kuat. ”I love you, Mama…” sambil melompat-lompat di atas tempatnya kegirangan. Mimpinya akan segera tertunaikan. Mimpi mengunjungi negara-negara hebat sebagaimana tertanam di dalam benaknya selama ini. Mimpi yang belum tentu mimpi.

Melihat anaknya kegirangan, wanita itupun melangkah meninggalkan kamar itu.

”ups..isi tempat lahirmu di formulir itu dan besok langsung antar ke bagian pendaftaran mahasiswa. Ok. Mama tidak mau lagi melihat bagian itu kosong. Banggalah nak dengan negeri kita sendiri” malngkah sambil menutup pintu kamar itu. Membuka dan menutup pintu dengan tangannya sendiri.

Malaysia, 16 Februari 2009

Catatan Pinggir Ketika Aku Lahir

Catatan Pinggir Ketika Aku Lahir


Hari itu 30 Desember 1979

Entah karena kurang bulan atau tak cukup gizi

Bayi kerdil lahir mendekati mati

tidak ada inkubasi untuk panasi bumi

yang ada hanya botol air asam berisi air suam

derita bunda berakhir bahagaia

walau cemas dan curiga, nyawa si sulung kembali pada-Nya

tangis pecah hingga ujung dusun

melalui lambaian niur menembus dinding pelupuh nan rapuh

memanggil ibu-ibu dusun tuk membawa sabun cuci dan minyak tanah

bersama tanya di dalam asa,

semoga panjang umur wahai si kecil, kerdil

senyum bunda berharap jua

bayi kecilnya kan mengukir dunia

terbang menembus mega dan membelah samudera

melintasi tapal batas bangsa dan negara

hingga berakhir di syurga, bersama bunda

bayi itu kini menulis

catatan pinggir ketika ia lahir bersama butir-butir sejarah

menyingkap suasana saat ia melihat dunia pertama

menyatukan masa yang membentang tiga dasa warsa.

Yang masih tercatat di lembar-lembar warta.

Aku, ia memanggil dirinya.

Saat itu, ia menyebut masa sewaktu ia dilahirkan.

Dusunku sama saja dengan Jakarta waktu itu

Ibu-ibu mencari kutu berjejer satu persatu

Bagai gerbong kereta api menjuju hulu

Sambil menetekkan bayi-bayi mereka tampa ragu

Tidak malu membuka susu di tengah umu.

Ibu-ibu tidak cerita politik

Karena politik tidak membuat perut kenyang

Politik hanya menggelitik bagi orang-orang yang suka panik

Memekik kadang mencekik

PDI pecah, PNI BARU mucul

Pecah rujuk pecah rujuk pecah rujuk

Celoteh politisi yang tidak ditemukan di kampungku

Cerita Afganistan entah indah entah petaka

Bersama lahirku ia tetap terbaca

Bersama sandiwara dan ranjau Komboja

Presiden digulingkan dan dibunuh soal biasa

Raknyat Komboja dan Afganistan meringkik jua

Entah siapa penjajah entah siapa patriot

Karena aku belum bisa membuka mata

1979: Kenangan, mungkin renungan

Teman-taman ayahku tiba-tiba unjuk rasa

Menhadap penguasa di gedung raya

Menutut hak, menuntut tanah

Gelombang protes petani penanda zaman yang mulai lali

Cerita zaman, cerita aku lahir

Vidio kaset baru mulai dipakai

Film jorok pun mulai masuk kamar, walau masih mahal

Karena di Lombok Pohon Turi masih bedaun

Menanti penanda kelaparan menyerbu datang

Bocah-bocah kecil tak berbaju menjadi santapan kamera pencari berita

Dijual, terkadang diperkosa, ditenjangi, dipermalukan.

Lima hari sebelum aku bisa menghirup udara

Bumi sumatera dilanda gempa

Lima belas nyawa ikut serta

Diiringi segera orang-orang yang terluka

Pulau Buru nan jauh di sana

Kehilangan pujangga pencari makna

Blora berbangga kembali bersua maha putera

Menyambut bebasnya Pramudya

Mungkinkah aku terlahir bagian dari kata

Akulah ”anak semua bangasa”

Catatan ini aku akhiri bersama waktu yang terus berlari

Membawa aku kian kemari, hingga detik ini

Catatan ini mungkin tak berarti

Namun aku telah memberi bukti pada bumi dan ummi

Karana aku tahu aku telah terlahir bersama catatan ini.

Malaysia, 16 Februari 2009

*sumber: Majalah Tempo No 45 Thn.IX 5 Januari 1980

Suara Pemilih Ketua PPI UKM dari Mana?

Suara Pemilih Ketua PPI UKM dari Mana?

Tinggal hitungan jam pemilihan ketua PPI UKM 2009/2010 akan berlangsung. Tepatnya besok jam 08.00 pagi waktu Malaysia. Beberapa bakal calon sudah mulai melancarkan ’aksi’nya untuk merebut posisi orang nomor satu di PPI UKM tersebut. Namun karena tidak ada komisi khusus yang dibentuk untuk menangani pelaksanaan pemilihan ini, pelaksanaannya terasa ’main-main’. Untuk pencalonan ketua umum contohnya, tidak ada peroses yang jelas sebelum hari H dilaksanakan. Yang saya tahu semua akan dilaksanakan pada hari H, dari penjaringan bakal calon, calon, kampanye, penyampaian visi – misi, dan pemilihan. Semua proses ini diharuskan selesai besok.

Dengan proses seperti ini, maka yang terjadi beberapa kandidat (tepatnya bakal calon) melakukan kampanye dengan gaya dan cara sendiri. Ada yang terang-terangan dan ada yang diam-diam, dengan pendekatan-pendekatan masing-masing. Mudah-mudahan tidak ada yang melakukan dengan cara pendekatan Ringgit (money politic) huahaaa…. Yah..sekedar ditraktir makan dan minum the tarik di KTHO atau Singgalang Indah boleh lah huahaa…. Jauh dari itu sebenarnya ada harapan besar bahwa melalui pemilihan PPI UKM ini kita mampu menunjukkan cara berdemokrasi yang sehat dan benar.

Melalui tulisan ini saya ingin sedikit membuat pemetaan kekuatan suara para pemilih yang mungkin bisa sebagai bahan analisa kawan-kawan yang benar-benar ingin maju pada pemilihan besok. Kekuatan apa yang bisa dipakai para kandidat untuk memperoleh suara?

1. Degree non Degree

Pemetaan degree dan non-degree nampaknya menjadi isu yang senter sejak dihembuskannya perhelatan pemilihan ketua PPI UKM. Tidak bisa pungkiri kekuatan ini nampaknya menjadi kekuatan besar yang bisa dimanfaatkan oleh para kandidat untuk memperoleh suara. Kekuatan degree sekitar 200-an suara membuat kawan-kawan yang mampu memperoleh ini akan merasa sangat terbantu untuk meraih suara terbanyak. Artinya suara degree menjadi kantong suara yang sangat diperhitungkan.

2. Kedaerahan

Isu kedaerahan juga akan menjadi sumber suara yang dapat dimanfaatkan. Sebagaimana kita ketahui bahwa mahasiswa di UKM berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Isu ‘ehtnonationalism’ juga akan merupakan kekuatan tersendiri. Pemetaan ini bisa diambil dari sangat kecil yaitu kesamaan kota atau kabupaten hingga ke yang lebih besar yaitu kesaman pulau.

3. Fakultas

Kesamaan fakulti juga merupakan kekuatan tersendiri untuk memperoleh suara. Bagi kandidat yang mampu menaikkan isu sense of belongging terhadap fakulti juga akan mendapat suara yang diinginkan. Ini sangat baik bagi kandidat yang mengetahui bahwa di fakultinya memiliki banyak anggota PPI.

4. Emosional dan sosial

Hubungan emosional dan sosial seperti teman dan keluarga juga diperkirakan akan mampu penarik suara terutama untuk suara yang ’bebas’ berkeliaran (swing voter).

Nah paling tidak 4 kekuatan ini bisa dimanfaatkan oleh para kandidat untuk memperoleh suara pada pemilihan mendatang. Mari kita lihat sebuah analisa kecil yaitu dua kandidat yang sudah terang-terangan mengajukan diri yaitu Saudara Danang dan Saudara Ismael Marzuki (Ekky). Saya katakan resmi maju karena cuma mereka berdua yang saya temui poster-poster kampanye yang menyatakan visi dan misi mereka.

Saudara Danang dari awal nampaknya akan mamakai kekuatan Degree dan Non-Degree. Ini nampak dari visi dan misinya yang sering disampaikannya yaitu untuk menjadikan PPI UKM sebgai ’organisasi anak degree’. Terasa sekali kekuatan anak degree untuk memenangkan pemilihan ini. Ini sangat baik karena kekuatan degree non degree akan menghilangkan 3 kekuatan lainnya. Artinya selagi dia anak degree, berasal dari daerah mana pun, dari fakultas mana pun, kenal atau tidak, maka ia akan memilih Saudara Danang. Tapi tentu tidak ada jaminan apakah semua degree akan satu suara (unpredictable).

Bagaimana dengan Saudara Ekky? Dilihat dari latar bekang organisasi, Saudara Ekky berangkat dari keunggulan sepak terjangnya di PMRM. Artinya kekuatan yang dipakai oleh Saudara Ekky adalah isu organisasi dan kedaerahan – Riau. Tidak dapat dipungkiri kekuatan Riau juga sangat besar di dalam PPI UKM, tetapi Saudara Ekky juga harus melihat bahwa sebagian besar anggot PMRM adalah degree. Ini akan terjadi tarik menarik.

Dari kekuatan ini, kedua kandidat harus lebih kerja keras lagi pada saat pemilihan nanti. Karena kedua kandidat ini belum cukup mampu meng-cover kekuatan yang ada. Masih ada beberapa jam lagi untuk melakukan pendekatan-pendekatan sehingga kekuatan-kekutan yang ada mampu dihimpundengan baik.

Bagaimana dengan kandidat lain? Kandidat-kandidat yang masih malu-malu untuk muncul ke permukaan? Hal yang sama saya rasa juga bisa dipakai. Silakan melihat kekuatan anda di mana. Peta yang mana yang bisa anda pakai selagi tidak memakai peta yang curang dan tidak berwibawa seperti money politic. Selamat mencoba.

Salam Damai

DARAH PALESTINA DARAH KAMI

DARAH PALESTINA DARAH KAMI

Lelap indah menelusuri mimpi tak bertepi

Di bawah selimut kasih sayang keluarga sejati

Malam hening berzikir dan bening

Cahaya Illahi terpancar di setiap lapaz dan nafas

Palestina tenang, tidur, merajut mimpi

Menanti hari baru di tahun baru

Tanpa rencana dan tiada aba-aba

dari panguasa atau hamba sahaya

Juga tidak ada pesta pora

Tiba-tiba… tiba tiba…..

blum….duuum…..tettt…. tettt….tteeettt…. teettt……

Kembang api pecah di angkasa membakar malam

Kembang api yang dikirim dari neraka jahannam

Bersama mortir-mortir yang menembus sukma dan menyanyat jiwa

Robot-robot mesin merasuk Jalur Gaza

Tak berjiwa walau bernyawa

Binatang-binatang Zionis Israel membabi buta

Membunuh meminum darah

nyawa-nyawa yang tak berdosa

Ketika pagi mulai menjelma

Seisi dunia ternyata sudah pikun dan bodoh. Tolol…!

Semua tidak bisa menghitung dari nol atau satu

Mereka semua serentak menghitung

128, 320. 540, 800, 910, 1020, seribuuu…..dua ribuuu…

Bak komando serentak menghitung nyawa yang terbang sia-sia

Menghitung….yah, hanya menghitung.

Tolol….!

Darah mengalir jauh menuju lautan lepas

menembus butiran-butiran pasir nan panas, ganas

anak-anak Palestina meregang nyawa

di ujung senjata boneka Amerika

mati bersimbah darah

wahai saudara-saudaraku di Palestina

kalian tidak mati, tidak…!

darah yang tumpah ke bumi

telah mengalir deras bersama aliran sungai

gelombang laut dan angin syurga

menuju raga dan jiwa kami

kalian belum mati

kalian hidup di dalam setiap detak jantung kami

sungguh kami ingin nyawa ini unuk kalian

kami relakan darah ini

kan kami berikan apa yang kami punya

kami, sungguh kami ikhlas

tapi….

dunia terlalu kejam dengan segala angkara murka

tak mereka bolehkan kami mencium luka kalian

atau hanya sekedar mengoyak kain kafan.

Wahai para pejuang dan mujahid

Jalan kalian selau terbentang menuju kemenangan.

Kemenangan abadi di jalan Illahi, Insya Allah

Jangan kalian ragukan darah yang tumpah

Jangan kalian risaukan luka yang merekah

Jangan kalian takutkan musuh Allah

Karena meraka pasti kalah

Palestina….

Darah kalian mengalir

Masih mengalir melalui bait puisi ini

Karena darah itu, darah kami

Siapa yang Berani Berkorban untuk PPI UKM?

Undangan untuk mengikuti Musawarah Cabang PPI UKM sudah disampaikan oleh pengurus yang menandakan setahun waktu telah berlalu dalam medium organisasi ini. Waktu kan terus berlalu seiring dengan berputaraya jarum jam (kecuali jam anda rosak heee…). Tapi ternyata bukan waktu itu yang menjadi persoalan namun bagaimana mengisi waktu itulah yang boleh jadi sangat penting.

Ketika waktu berlalu tentu siapa pun tidak akan bisa memutarnya kembali, sedetik pun tidak akan bisa. Tapi paling tidak kita bisa melihat kebelakang, bukan waktunya yang kita lihat tapi apa yang telah diperbuat saat waktu itu berlalu. Setahun hanya hitungan waktu yang tidak penting untuk dihitung berapa bulan, berapa jam, berapa menit dan seterusnya. Tapi yang penting adalah apa saja yang telah diperbuat dalam waktu setahun tersebut. Pertanyaan ini agaknya tepat sebagai brain storming menghadapi Muscap PPI UKM tanggal 15 Februari mendatang. Artinya, melihat kebelakang untuk siap-siap menghadapi masa depan.

Apa yang telah kita lewati selama satu tahun ini bersama PPI UKM tentu secara resmi akan kita dengarkan laporan pertanggungjawaban kawan-kawan pengurus nantinya. Namun, bukan maksud mendahului, secara gamblang kita dengan bangga harus, memberikan apresiasi yang besar terhadap apa yang telah kawan-kawan pengurus di bawah komando Mas Arif, berikan untuk PPI UKM selama satu tahun ini. Beberapa kegiatan telah terlaksana dengan baik, di antaranya yang masih segar di ingatan kita penyambutan mahasiswa baru setiap semester, Scientific Conference (SC), Garuda Cup (anak-anak bola), bazaar, 17 agusan, dan lain-lain. Ini semua terlaksana berkat kerja keras yang luar biasa semua lini di dalam kepengurusan PPI ini. Akan tetapi, tentu dengan sangat diyakini bahwa masih banyak program-program (atau hopes) yang masih belum terlaksana (silakan eksplore…heheee…)

Sekali lagi, apa pun yang kita lewati selama setahun ini bersama kepengurusan PPI UKM tidak bisa kita jemput kembali dengan hitungan waktu yang sama, baik kesuksesan maupun yang kegagalan. Satu hal yang dapat kita lakukan adalah kembali menata rencana untuk masa depan agar kegagalan masa lalu tidak terulang lagi di masa yang akan datang dan kesuksesan dapat lebih banyak kita raih. Nah di sinilah letak kepedulian kita semua.

Sepantasnyalah kita memberikan apresiasi yang besar terhadap kawan-kawan yang telah berkarya membagun organisasi ini. Rasanya bukan hal yang mudah untuk aktif di sebuah organisasi seperti PPI UKM ini bila kita melihat beban kuliah yang semakin berat, urusan pribadi semakin kompleks, (keluarga, anak, isteri, mertua, tetangga, adik/kakak ipar, keponaan, dst), urusan pemenuhan kebutuhan semakin mendesak, dan sebagainya. Hanya orang-orang yang siap berkorban yang mampu melakukan semua ini. Bagaimana ke depan?

Menurut saya di sinilah kuncinya. PPI UKM sangat membutuhkan orang-orang yang siap berkorban. Sekali lagi, siap berkorban. Dengan tidak menafikan kemampuan berorganisasi, saya rasa yang jauh lebih penting adalah kemampuan untuk mencurahkan perhatian penuh terhadap kepentingan organisasi ini. Diperlukan orang-orang yang rela mengorbankan waktu dan tenaga. Mudah-mudahan di Muscab nanti kita menemukan orang-orang ini. Silakan dilanjutkan diskusinya….