Mafia Pengobatan di RSUD Raden Mataher

Seminggu terakhir saya merasa sangat dekat dengan nafas kehidupan di rumah sakit umum Raden Mataher (RSUD) Provinsi Jambi karena salah satu anggota keluarga saya harus dirawat inap karena terserang penyakit gejala strok. Selama berada di rumah sakit ini saya banyak mengalami kesulitan-kesulitan administratif dan layanan sampai berurusan dengan mafia-mafia pengobatan yang bergentayangan di dalam rumah sakit ini. Agaknya tidak berlebihan pada kesempatan ini saya ingin berbagi cerita dengan sidang pembaca, masyarakat Jambi khususnya, bagaimana sesungguhnya rumah sakit ini telah kehilangan fungsinya sebagai tepbat berobat orang sakit menjadi tempat bisnis yang mengkomoditikan orang sakit. Rumah sakit yang seyogyanya diharapkan dapat membantu meringankan sakit para pasien namun tidak jarang mendapat perlakuan sebaliknya. Masuk rumah sakit malah tambah sakit. Berikut ini adalah beberapa hal yang menjadi perhatian saya yang sekaligus menjadi pengalaman yang sangat menyakitkan. Dan sebuah keykinan bahwa saya adalah salah seorang dari sekian banyak pasien dan keluarga pasien yang mengalami hal yang sama. semoga tulisan ini dapat dijadikan kewaspadaan bagi yang ingin memanfaatkan jasa rumah sakit rakyat ini.
Pertama, infrastruktur, fasilitas, dan manajemen yang amburadul. Saya yakin kita semua berdecak kagum melihat dari luar betapa megahnya bangunan rumah sakit ini. Bangunannya megah dan terkesan mewah dengan pilar-pilar yang besar dan menjulang. Namun ternyata setelah kita masuk dan perhatikan lebih detil lagi barulah kita sadar bahwa pembangunan gedung yang menghabiskan uang negara milyaran rupiah ini tidak lebih dari asal-asalan. Ini dapat dibuktikan secara kasat mata. Baru beberapa bulan saja gedung itu digunakan kita sudah melihat tembok yang retak sana sini, cet tembuk yang sudah mengelupas, jendela-jendela yang tidak bisa dibuka tutup, lantai yang mulai berlobang, dan seterusnya. Apa arti semua ini ? Asal jadi ! Dan raknyat menjadi penonton untuk dibohongi.
Kondisi seperti ini lebih parah lagi terjadi pada kamar-kamar pasien yang ada. Pengalaman saya selama beberapa hari ini misalnya, kami mendapat salah satu kamar di sal saraf. Dengan harga yang lumayan mahal untuk ukuran rakyat menengah ke bawah seperti keluarga saya di kamar ini nyaris tidak ada fasilitas yang diharapkan. Ada pendingin ruangan (AC) tapi tidak berfungsi karena tidak ada freon, TV tidak memiliki antena, pelafon (dek) yang siap-siap ambruk, WC yang tidak terus, dan sebagainya. Belum lagi berbicara menyangkut kebersihan, masih sangat jauh dari kata-kata bersih. Puntung rokok berserakan, kertas pembungkus nasi bungkus di mana-mana, botol minuman air mineral berserakan, selokan bau dan kotor. Sangat mengecewakan.
Berbicara mengenai manajement, atau paling tidak hal kecil seperti alur kerja dan koordinasi antar bagian, sungguh sangat tidak termenej kalu tidak berlebihan kita bilang tradisional dan kampungan. Contoh kecil dalam menentukan ruangan untuk pasien rawat inap. Keluarga pasien diminta untuk mencari sendiri ruangan yang akan ditempati. Maka keluarga pasien harus berkeliling dari satu sal ke sal lain untuk melihat ruangan yang kosong dan avilable untuk ditempati. Bukankah sekarang ada telfon jaringan (PABX). Seharusnya IGD atau bagian administrasi sudah memengang daftar kamar yang kosong dan yang terisi. Kalau pun harus memilih kamar, keluarga pasen tidak perlu keliling rumah sakit untuk mencari-cari kamar kosong layaknya tamu hotel.
Kedua, mafia obat. Karena ada urusan lain, saya terpaksa meninggalkan keluarga yang sakit untuk beberapa saat. Ketika saya kembali ternyata dokter baru saja visit. Maka sesuai kebiasaan setelah dokter visit, selanjutnya adalah penebusan obat. Tapi sungguh sangat mengagetkan ketika salah satu keluarga saya mengatakan bahwa resep dokter telah diambil (setengah dipaksa) oleh seorang ’petugas’ apotek yang ditemani oleh salah satu suster jaga di sal tersebut. Karena ini di luar kebiasaan maka saya menelusurinya. Ternyata ’petugas’ tersebut adalah salah satu karyawan Apotek X (saya memiliki nama karyawan dan nama apotek tersebut) yang secara ilegal bekerja sama dengan suster (mungkin juga dengan dokter?) untuk menjual obat-obat apotek tersebut. Dan selanjutnya saya membatalkan pembelian dengan apotek X tersebut dan saya menggali informasi dari apotek yang resmi ditunjuk oleh rumah sakit. Didapat keterangan bahwa obat yang dijual oleh apotek X banyak yang tidak memenuhi standar bahkan izin dari dinas kesehatan RI alias obat liar dengan harga yang diberikan kepada pasien bisa dua kali lipatnya.
Di mana nilai-nilai kemanusiaan mereka? Yang lebih menyayat batin lagi adalah yang menjadi korban sebagian besar masyarakat desa (pasien dari dusun) yang berobat di rumah sakit ini. Kebanyakan dari mereka tidak mengetahui perosedur pembelian obat dan berurusan dengan apotek. Ketidaktahuan mereka inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh oknum-oknum ini. Demi keuntungan uang (persenan dari penjualan obat tersebut) mereka mengorbankan orang-orang lemah. Tidakkah pernah terbayangkan bahwa dengan kondisi perekonomian seperti saat ini, masyarakat miskin harus pinjam uang sana sini atau jual ini dan itu untuk biaya berobat ke rumah sakit. Hati nurani telah dibunuh materi.
Inilah mafia perubatan di rumah sakit ini. Saya menyebutnya mafia karena kejahatan ini dilakukan dengan membangun jaringan dan kerja sama. Tidak mungkin pihak rumah sakit tidak mengetahuinya. Tidak mungkin dokter tidak mempertanyakan obat yang mereka berikan kepada pasien. Tidak mungkin salah seorang suster bekerja sendiri tanpa diketahui oleh atasannya. Kegaiatan semacam ini sungguh sangat sadis kerena mereka menindas dan mencekik orang yang sedang lemah, bersedih, berduka karena salah seorang keluarga mereka sedang sakit. Sadis..!
Ketiga, layanan yang buruk. Beberapa bulan yang lalu saya berkesempatan berkunjung ke beberapa rumah sakit di Malaysia. Rasanya iri melihat para pahlawan-pahlawan medis di sana melayani para pasien mereka. pasien dilayani dengan baik dan manusiawi. Sakit, kemalangan, penderitaan pasien seakan dirasakan oleh dokter, perawat, satpam, front office, dan sebagainya. Tanpa bermaksud membanggakan negeri orang lain, tapi inilah sebuah fakta bahwa di rumah sakit kita belum bisa kita temuai layanan terhadap pasien dan keluarga pasien seperti melayani manusia. Belum mampu menyentuh rasa empati dan simpati mereka terhadap kesusahan dan kemalangan para pasien, dan yang ada adalah pasein dijadikan sumber duit belaka (income).
buruknya layanan ini tentunya memberi dampak langsung terhadap psikologi pasien. saya melihat sendiri betapa tidak manusiawinya para suster (rata-rata mahasiswa sekolah kesehatan) memasukkan jarum infus. ditusukkan sedemikian rupa persis seperti menyuntik sapi. tidak ada komunikasi yang baik terhadap pasien, apa lagi senyum dan keiklasan. begitu juga para suster jaga malam. mereka lebih memilih mengunci pintu di ruangan sambil menonton televisi. jika ada keluarga pasein meminta bantuan seperti mengganti infus atau menerima keluhan dari si sakit, mereka melakukannya dengan muka masam dan marah karena telah mengganggu tidur nyeneyak mereka. masih terlalu banyak fakta-fakta yang menunjukkan bahwa layanan di rumah sakit ini buruk sekali.
Keempat, Perda no 1 tahun 2009 tentang kenaikan tarif rumah sakit. Di beberapa kaca jendela rumah sakit ini ditempelkan secarik kertas yang menyatakan bahwa berdasarkan Perda No 1 Tahun 2009, tarif rumah sakit naik. Nampak sekali pengumuman ini adalah pengumuman setengah hati dan asal. Seyogyanya di dalam pemberitahuan itu dimuatkan alasan-alasan mengapa pemerintah daerah menaikkan tarif rumah sakit. Dengan kenaikan ini apa yang didapat oleh masyarakat. Dibuatkan daftar besaran kenaikan dan apa saja yang naik, dan seterusnya. Jadi lagi-lagi semua ini hanya akal-akalan dan pembodohan masyarakat.
Akhirya, dari point-point tersebut di atas dapat diambil pelajaran bagi kita semua bahwa kita tidak bisa berharap banyak terhadap layanan rumah sakit ini kecuali ada itikat baik pemerintah memperbaiki kinerjanya. Jika semua ini tidak mendapat perhatian dari semua pihak, maka hal-hal semacam ini akan terualang dan terulang selamanya, dan akan terus bermunculan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang mencari peluang untuk membisniskan orang sakit. Agaknya tawaran yang paling tepat dan pantas untuk oknum-oknum yang menjadi mafia di dalam rumah sakit ini adalah mengembalikan hati nurani mereka. Mereka harus mampu mersakan apa yang pasien dan keluarga pasien rasakan. Sakit mereka adalah sakita kita semua. semoga, amin.

Bahren Nurdin
Direktur Eksekutif Pusat Studi Humaniora
IAIN STS Jambi

Tinggalkan komentar